Kayu Ramin (Gonystylus spp)
telah menjadi primadona sejak lama. Penampakan fisik jenis ramin yang
bertekstur halus, warna yang cerah, bentuk permukaan yang rata serta mudah dalam
pengerjaannya,membuat jenis ini cukup digemari di pasar industri pengolahan kayu
di dunia. Sehingga kayu ramin banyak
dipanen, dan bisa ditebak pada akhirnya, terjadi kelangkaan tegakan kayu ramin.
Perdagangan kayu ramin dilarang (sementara) baik kayu bulat maupun olahan sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2011. Keputusan
ini keluar karena disinyalir penebangan kayu jenis ramin ini telah merambah ke kawasan hutan lindung dan
kawasan konservasi; perdagangannya
telah meluas pada lingkup nasional
maupun internasional, untuk itu langkah pencegahan meluasnya penebangan liar
dan atau perdagangan liar kayu ramin diperlukan.
Upaya penyelamatan ramin
juga dilakukan dengan memasukkan raminsebagai spesies yang dilindungi dalam
Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) Appendix II. CITES,
dalam sidangnya di Bangkok, Thailand tanggal 3-14 Oktober 2004 menyepakati kayu
Ramin masuk kedalam golongan Apendix II, sehingga perdagangan kayu ramin harus
diatur dan diawasi secara ketat tidak hanya oleh negara produsen tetapi juga
seluruh negara aggota CITES. Kayu Ramin masuk Appendix II dengan anotasi I,
yaitu memasukkan seluruh bagian dan turunannya.
Pengaturan pemanfaatan dan
peredaran kayu ramin diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
168/Kpts-IV/2011 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. 1613/Kpts-II/2001 tentang
Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin, sebagai tindak lanjut dari Keputusan
Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2011.
Diantara bentuk pengaturan
pemanfaatan dan peredaran kayu ramin sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.
168/Kpts-IV/2011 adalah adanya larangan
penebangan ramin di seluruh kawasan hutan tetap, di kawasan hutan yang dapat
dikonversi, dan hutan hak, kecuali terhadap HPH (IUPHHK-HA) yang telah memperoleh
Sertifikat Pengelolaan Hutan Alam Lestari (SPHAL).
Selanjutnya peredaran dan
pemanfaatan kayu ramin dari IUPHHK-HA yang telah memperoleh
Sertifikat Pengelolaan Hutan Alam Lestari, untuk dalam negeri wajib dilengkapi
bersama-sama dengan dokumen SKSHH (sekarang SKSKB) yang diterbitkan oleh
pejabat penerbit SKSHH (sekarang Pejabat Penerbit SKSKB). Sedangkan untuk
keperluan ekspor diterbitkan Surat Angkut
Tumbuhan dan Satwa Liar ke Luar Negeri (SATS-LN).
Untuk mendapatkan Surat
Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar ke luar negeri (SATS-LN) perusahan wajib mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian
Kehutanan dengan melampirkan dokumen asal usul bahan baku (dokumen SKSKB) dan
rekomendasi dari Dinas Kehutanan Provinsi.
Hingga saat tulisan ini diposting,
Keputusan Menteri Kehutanan 127/Kpts-V/2011. Dan No. 168/Kpts-IV/2011 jo.
Peraturan Menteri Kehutanan No. 1613/Kpts-II/2001 tentang Pemanfaatan dan
Peredaran Kayu Ramin, masih tetap berlaku alias belum dicabut.