Indonesia harus memanfaatkan momentum kerja sama
Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 untuk menggencarkan standardisasi
produk kayu legal. Di ASEAN, saat ini baru Indonesia yang menerapkan sistem
verifikasi legalitas kayu untuk produk ekspor.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan
Kerajinan Indonesia (Asmindo) Indrawan mengemukakan hal itu, di Jakarta, Senin
(17/3/2014).
”Penerapan SVLK akan menguntungkan perusahaan karena
pemakaian bahan baku akan lebih efektif dan efisien, serta pengembangan pasar
ekspor lebih terbuka,” ujarnya.
Tahun 2014, ekspor produk furnitur dan kerajinan kayu
ditargetkan 3 miliar dollar AS atau naik 15,3 persen dibandingkan tahun lalu.
Tahun 2013, total pasar ekspor produk furnitur 2,6 miliar dollar AS, meliputi
furnitur 1,8 miliar dollar AS dan kerajinan 800 juta dollar AS.
Adapun total eksportir produk kayu industri kehutanan
mencapai 800 perusahaan. Dari jumlah itu, baru 114 perusahaan yang mengantongi
SVLK. Pemerintah Indonesia berencana mewajibkan semua eksportir memiliki SVLK
mulai tahun 2015.
Uni Eropa merupakan pasar terbesar ekspor furnitur dan
kerajinan asal Indonesia, yakni 40 persen. Peringkat pasar ekspor kedua Amerika
Serikat sebesar 29 persen dan Jepang 12 persen. Keunggulan produk kayu asal
Indonesia antara lain berbahan kayu keras (solid wood), seperti kayu jati dan
mahoni.
Hingga saat ini, baru Uni Eropa yang mewajibkan penerapan
SVLK untuk semua produk kayu yang masuk. Indrawan menambahkan, butuh kerja
keras dan dukungan agar semua eksportir memiliki sertifikasi SVLK.
Perluasan pasar
Saat ini, pasar ekspor produk kayu ke Asia terus
bertumbuh, antara lain, ke Taiwan, Korea, Turki, dan India. Pertumbuhan pasar
Asia tahun 2013 mencapai 20 persen, terutama produk kayu untuk segmen menengah
atas.
Sejauh ini belum ada negara di Asia yang telah menerapkan
SVLK. Untuk itu, Indonesia harus mendorong negara-negara ASEAN untuk mau
menerapkan SVLK bagi pengembangan pasar, Di sisi lain, Uni Eropa diharapkan
memiliki komitmen untuk mendukung penuh produk-produk kayu yang telah
bersertifikasi.
Wakil Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Colin Crooks
mengemukakan, Uni Eropa terus mendukung upaya usaha kecil menengah (UKM) industri
mebel kayu Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi SVLK.
”Kami mengakui prestasi Indonesia melaksanakan SVLK. Saat
ini, Indonesia termaju dalam penerapan SVLK di Asia,” ujarnya.
Ia menambahkan, Uni Eropa dan Indonesia berperan aktif
meningkatkan ekspor kayu legal dari Indonesia ke Eropa dan memberantas
pembalakan liar. Di antaranya, konsistensi produk kayu legal asal Indonesia
yang masuk ke Eropa. Penerapan SVLK secara aktif akan memberikan keuntungan
bagi Indonesia dalam pengembangan pasar produk kayu di dunia.
Terhitung September tahun 2013, ratifikasi mengesahkan
perjanjian dalam penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan bidang kehutanan
(VPA-FLEGT) yang ditandatangani Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Komisioner
Eropa Bidang Lingkungan Janez Potocnik, dan Menteri Lingkungan Hidup Lituania
Valentinas Mazuronis, di Brussels, Belgia.
Direktur Kebijakan, Keberlanjutan, dan Transformasi World
Wide Fund (WWF) Indonesia Budi Wardhana mengemukakan, secara keseluruhan ada
300 UKM bidang furnitur yang sedang mengikuti proyek sertifikasi SVLK bekerja
sama dengan Uni Eropa. Namun, baru 10 UKM yang memperoleh sertifikasi. Pihaknya
menargetkan sertifikasi untuk 300 UKM akan tuntas tahun 2016.
Selama ini, perajin dan pelaku usaha furnitur Indonesia
cenderung kewalahan memenuhi permintaan pasar Uni Eropa karena keterbatasan
legalitas produk. Penerapan SVLK tidak hanya penting untuk mengembangkan pasar
Eropa, tetapi juga pasar Amerika Serikat dan Australia.
Kawasan UE memberikan insentif berupa pengurangan biaya
fiskal 8 persen untuk produk ekspor yang sudah memenuhi regulasi kayu Uni
Eropa. Sebaliknya, Uni Eropa memberlakukan bea masuk 86 persen pada produk kayu
yang tidak memenuhi European Union Timber Regulation. Produk atau kerajinan
kayu yang tak atau belum menerapkan SVLK akan kesulitan masuk pasar Uni Eropa.
KOMPAS