Tata Cara Pengukuran Kayu Bulat Rimba


Terminologi yang dikenal dalam sistem peredaran hasil hutan khususnya tentang ukuran kayu bulat rimba adalah Kayu Bulat (KB), Kayu Bulat Sedang (KBS) Kayu Bulat Kecil (KBK). Kayu Bulat (KB) memiliki ukuran diameter 50 cm atau lebih, KBS memiliki diameter 30 cm – 49 cm, dan KBK memiliki diameter kurang dari 30 cm (Permenhut Nomor:P.41/Menhut-II/2014).

Namun tahukah Anda cara mengukur diameter kayu bulat rimba tersebut? Dan apa pentingnya diameter kayu ini diketahui? Diameter kayu bulat rimba ini diperlukan untuk menghitung volume kayu bulat. Dimana volumen kayu diperlukan untuk perhitungan pembayaran kewajiban iuran kehutanan baik berupa PSDH, DR maupun GR dan PNT, dan tentunya berkaitan dengan harga kayu.

Tata cara pengukuran kayu bulat rimba ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009 tentang Metode Pengukuran dan Tabel Isi Kayu Bulat Rimba Indonesia.

Untuk menentukan volume kayu bulat rimba, perlu diketahui dimensi panjang dan dimensi diameter kayu bulat.  

Panjang kayu bulat adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu bulat dan diukur dalam satuan meter dengan kelipatan 10 cm dengan pembulatan kebawah.

Sedangkan diameter kayu bulat adalah jumlah diameter rata-rata pada bontos pangkal kayu bulat dan rata-rata diameter pada ujung  kayu bulat dibagi 2. Rata-rata diameter bontos pangkal  adalah ukuran garis tengah terpendek melalui pusat bontos ditambah garis tengah terpanjang melalui pusat bontos dibagi 2. Begitu juga pada bontos ujung.

Sedangkan untuk mengetahui volume kayu didapat rumus sebagai berikut:

Volume Kayu (Isi Kayu Bulat disingkat dengan I) = (0,7854 x d² x p) / 10.000

Keterangan :
I = Isi kayu bulat dalam m³
0,7854 = ¼ phi
d = diameter kayu bulat dalam cm (rata2 diamter pangkal dan ujung)
p = panjang kayu bulat dalam m

Perlu untuk diketahui bahwa tata cara pengukuran dimensi panjang kayu berbeda antara kayu lengkung dengan kayu lurus, antara kayu dengan potongan bontos yang miring (tidak siku) dengan yang siku. Dan banyak hal mendetail lain nya yang harus diperhatikan. Maka untuk referensi lebih lanjut silakan merujuk ke Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009.