Cara Perhitungan Potensi Carbon dari Pohon

Hutan memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dan mengontrol pelepasannya ke udara. Pohon di hutan mampu menyerap karbondioksida (CO2) untuk fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk karbohidrat pada kantong karbon di akar, batang, dan daun sebelum dilepaskan kembali ke atmosfer. Hal ini menimbulkan keterkaitan antara biomassa hutan dengan kandungan karbon. Hutan memiliki setidaknya empat kolam karbon ; Biomassa Atas Permukaan (Aboveground Biomass), Biomassa Bawah Permukaan (Underground Biomass), Bahan Organik Mati, dan Kandungan Karbon Organik Tanah. (https://fwi.or.id/publikasi/penghitungan-karbon).

Ada berbagai metode analisis perhitungan karbon yang diketahui. Informasi yang penulis dapatkan  dari Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Balitbanghut KLHK membagi metode perhitungan karbon sbb:

1. Metode Tidak Langsung

-  Menggunakan Persamaan Allometri. (Sutaryo 2009) mendefinisikan allometrik sebagai suatu studi dari suatu hubungan antara pertumbuhan dan ukuran salah satu bagian organisme dengan pertumbuhan atau ukuran dari keseluruhan organism. Dalam studi biomassa hutan/pohon persamaan allometrik dugunakan untuk mengetahuim hubungan antara ukuran pohon (diameter atau tinggi) dengan berat kering pohon secara keseluruhan. setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain

-        Gravimetri Dan Volumetri : Menggunakan Pendekatan Berat Jenis Kayu Dan Volume Kayu

-        Menggunakan Citra Satelit Dalam Pendugaan Biomasa

2.  Metode Langsung

Destructive Sampling  (Sampling Merusak) : Dilakukan Dengan Cara Menebang Pohon  Dan Menimbang Langsung Di Lapangan.

Dalam hal menggunakan metode volumetric, yaitu dengan menggunakan data pohon sebagai dasar perhitungan yaitu Berat Jenis Kayu, Biomassa Kayu dan Volume Kayu. Maka akan diketahui :

BIOMASSA KAYU (KG) = BERAT JENIS (KG/M3) X VOLUME KAYU (M3)

SIMPANAN KARBON KAYU (KG) = BIOMASSA KAYU (KG) X 0,5

SERAPAN CO2 (KG) = SIMPANAN KARBON KAYU (KG) X 3,67

Catatan penting:

KANDUNGAN KARBON = 50% X BIOMASA TANAMAN HUTAN

Syarat Perusahaan Yang Bisa Ekspor Produk Industri Kehutanan


Jika Anda bergerak di bisnis atau industry kehutanan  terutama yang melakukan eksport produk kehutanan maka Anda harus tau bahwa tidak semua perusahaan eksportir bisa melakukan eksport produk industry kehutanan, ada syarat terntu yang telah ditetapkan oleh pengatur kebijakan dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan  yang akan berlaku 27 Mei 2020 ini telah mengatur tentang eksportir yang hanya dapat melakukan eksport Produk Industri Kehutanan adalah:
  1. perusahaan industri kehutanan yang memiliki NIB dan Tanda Daftar Industri atau Izin Usaha Industri; dan
  2. perusahaan perdagangan di bidang ekspor Produk  Industri Kehutanan yang memiliki NIB dan Surat  Izin Usaha Perdagangan

Nomor Induk Berusaha atau NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran.

Jika Perusahaan Anda melakukan eksportir, ada kewajiban yang harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi maka akan dikenakan sanksi berupa pencabutan TDI atau Izin Usaha Industri, NIB atau Surat Izin Usaha Perdagangan. Kewajiban tersebut adalah :
  • wajib menyampaikan laporan realisasi Ekspor Produk Industri Kehutanan baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi setiap 1 (satu) tahun secara elektronik kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan melalui Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan
  • Laporan realisasi tersebut disampaikan  melalui  laman http://inatrade.kemendag.go.id  paling lambat tanggal  15 bulan berikutnya.
  • Format laporan bisa dilihat di Lampiran III Permendag Nomor 15 Tahun 2020

Sumber : Permendag Nomor 15 Tahun 2020


Ekspor Produk Industri Kehutanan Tidak Mewajibkan SVLK



Adalah Peraturan Menteri Perdagangan RepublikIndonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang memuat aturan baru terkait tidak wajibnya SVLK atau dokumen V-Legal untuk eksport produk terntentu kehutanan. Aturan tersebut baru efektif 3 bulan sejak diundangkan (diundangkan 27 Februari 2020).

Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) merupakan skema sertifikasi hutan dan industri kehutanan untuk memastikan apakah Unit Manajemen telah mengelola hutan dan atau produk hasil hutan secara legal. VLK memastikan bahwa unit manajemen atau industri menggunakan bahan baku legal yang dibuktikan dengan seluruh bahan baku yang digunakan dilindungi oleh dokumen legalitas.

Jika di aturan lama menyebutkan bahwa Ekspor Produk Industri Kehutanan untuk kelompok tertentu wajib dilengkapi dengan Dokumen V-Legal yang diterbitkan oleh LVLK. Dokumen V-Legal ini  digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yang diwajibkan untuk penyampaian pemberitahuan pabean ekspor kepada kantor pabean. Namun tidak lagi disyaratkan di aturan terbaru tentang ekspor produk kehutanan.

Dalam Permendag Nomor 15 Tahun 2020  tersebut diatur bahwa Produk Industri Kehutanan  hanya dapat diekspor setelah  memenuhi kriteria teknis sebagaimana tercantum  dalam Lampiran II Peraturan tersebut. Selain harus memenuhi kriteria teknis tersebut, Produk Industri Kehutanan hanya dapat diekspor setelah dilakukan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebelum muat barang yang  dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.


SKSHHBK Sebagai Salah Satu Dokumen Angkutan untuk Hasil Hutan Bukan Kayu


Terdapat dua dokumen yang bisa menyertai setiap pengangkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari Pemegang Izin atau Pengelola Hutan atau Pengumpul Terdaftar. Dokumen angkutan tersebut adalah:

  1. SKSHHBK
  2. Nota perusahaan

Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Bukan Kayu (SKSHHBK) adalah dokumen angkutan hasil hutan bukan kayu yang diterbitkan melalui SistemInformasi Penatausahaan Hasil Hutan  (SIPUHH) 

SKSHHBK hanya dapat diterbitkan untuk HHBK yang PNBP-nya telah dibayar lunas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pengangkutan dengan 1 (satu) tujuan angkutan.

SKSHHBK diterbitkan oleh Penerbit SKSHHBK yang merupakan karyawan Pemegang Izin atau Pengelola Hutan atau Pengumpul Terdaftar dengan kualifikasi GANISPHPL sesuai kompetensinya

Penerbitan SKSHHBK pada Pemegang Izin atau Pengelola Hutan atau Pengumpul Terdaftar yang tidak memiliki GANISPHPL sesuai kompetensinya dapat dilakukan oleh GANISPHPL sesuai kompetensinya dari Pemegang Izin atau Pengelola Hutan atau Pengumpul Terdaftar lain atau WASGANISPHPL sesuai kompetensinya pada Balai atau Dinas Provinsi.

Penerbitan SKSHHBK pada Pemegang Izin di bidang perhutanan sosial yang belum memiliki GANISPHPL dapat difasilitasi dengan penugasan pegawai Dinas atau Kesatuan Pengelolaan Hutan atau Balai atau Balai PSKL atau anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial yang berkualifikasi GANISPHPL atau WASGANISPHPL sesuai kompetensinya

Jika terjadi gangguan pada SIPUHH yang berakibat terhentinya proses penerbitan SKSHHBK, dapat diterbitkan SKSHHBK Pengganti. SKSHHBK Pengganti dapat diterbitkan apabila gangguan pada SIPUHH  belum terselesaikan dalam jangka waktu 6 (enam) jam terhitung sejak laporan gangguan diterima administrator melalui e-mail helpdesk. Jika gangguan telah terselesaikan dan SIPUHH dapat dipergunakan kembali, Pemegang Izin atau Pengelola Hutan/ Pengumpul Terdaftar menerbitkan SKSHHBK sesuai SKSHHBK Pengganti yang telah diterbitkan



Sumber: Peraturan Menteri LHK Nomor P.78/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Negara

Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO)


Alat Identifikasi Kayu Otomatis yang disingkat dengan AIKO merupakan aplikasi berbasis Android yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis kayu hingga mencapai 823 jenis kayu beserta berat jenisnya. Aplikasi ini bisa digunakan secara online (daring) maupun offline (luring).


Cara penggunaannya AIKO adalah :
  1. Pengguna harus memiliki smartphone dengan resolusi kamera di atas delapan megapixel
  2. Unduh aplikasi AIKO dari playstore
  3. Gunakan lensa pembesar tambahan yang dipasang atau disandingkan di smartphone. 
  4.  Pisau untuk menyerut permukaan kayu
  5. Kamera diarahkan ke penampang lintang kayu yang sudah dikikis/diserut sedikit permukaannya, lalu di foto
Gambar yang diperoleh akan dikirimkan ke server High Performance Computer  LIPI untuk selanjutnya dilakukan klasifikasi jenis kayu dengan menggunakan algoritma deep learning yang sudah terlatih mengenai berbagai jenis kayu sesuai data identitas kayu yang tersimpan di Xylarium Bogoriense milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Hasil klasifikasi kemudian dikirimkan kembali ke aplikasi AIKO. Pengguna pun dapat melihat informasi nama ilmiah, berat jenis, kelas kuat, kelas awet, klasifikasi perdagangan, dan rekomendasi penggunaan.


Perubahan Aturan Bidang Peredaran Hasil Hutan


Ketika Penatausahaan Hasil Hutan baik kayu maupun bukan kayu yang berasal dari Hutan Negara, Hutan Alam maupun dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi dinilai kurang optimal dalam pelaksanaan pemenuhan hak-hak negara, legalitas dan ketertiban peredaran hasil hutan kayu, serta ketersediaan data dan informasi, maka aturan tersebut perlu diganti. Penggantian aturan telah keluar tahun 2019 sebagai berikut:

NO
Aturan Lama
Aturan Pengganti
1
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.91/MENHUT/II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara. Dan perubahannya dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.27/MENLHK-SETJEN/2015
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.78/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Negara
2
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.43/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam. Dan perubahannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.60/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2016
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.66/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Alam
3
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.42/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. Dan perubahannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.58/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/
2016.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.67/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi





11 Jenis Tanaman Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat



Berdasarkan SK MenLHK Nomor Sk.396/MENLHK/PDASHL/Das.2/8/2017 Tentang Penetapan Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat, Menteri LHK telah menetapkan 6 (enam) Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya WajibDiambil Dari Sumber Benih Bersertifikat.

Keputusan Menteri LHK ini melengkapi Keputusan yang telah dikeluarkan sebelumnya yaitu Nomor SK.707/Menhut-II/2013 tentang  Penetapan Jenis Tanaman Hutan Yang Benihnya Wajib Diambil Dari Sumber Benih Bersertifikat, sehingga jumlah tanaman hutan yang benihnya wajib diambil dari sumber benih bersertifikat seluruhnya berjumlah 11 (sebelas) jenis tanaman hutan yaitu:

  1. Jati (Tectona grandis)
  2. Mahoni (Swietenia spp.)
  3. Sengon (Paraserianthes faleataria atau Falcataria mollucana)
  4. Gmelina (Gmelina arborea)
  5. Jabon (Antocephalus spp.)
  6. Kemiri (Aleuritis moluccana)
  7. Cempaka (Elmerrilia sp, Elmerrilia ovalis, Elmerrilia tsiampaca, Michelia champaca, Manglietia glauca, Magnolia elegans)
  8. Gaharu (Aquilaria filaria, Aquilaria malaccensis, Aquila ria microcarpa, Gyrinops resbergii, Gyrinops verstegiz)
  9. Pinus (Pinus merkusii)
  10. Cendana (Santalum album); dan
  11. Kayu Putih (Melaleuca cajuputi).
Penetapan jenis tanaman hutan diatas menjadi acuan dalam penggunaan benih di setiap kegiatan:
  • pengadaan benih;
  • pengedaran benih; dan/ atau
  • penanaman untuk kepentingan publik pada kawasan hutan dan atau tanah negara.

Jika kegiatan sebagaimana dimaksud diatas tidak menggunakan benih yang berasal dari sumber benih bersertifikat, akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut SK MenLHK Nomor Sk.548/MENLHK/PDASHL/Das.2/10/2017 menyatakan bahwa semua institusi dan pihak terkait diberi waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini, untuk melakyukan prakondisi dan sosialisasi sehingga 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini Jenis tanaman hutan yang wajib diambil dari Sumber Benih bersertifikat sudah harus mulai diterapkan. Keputusan ini ditetapkan 12 Oktober 2017.

Mekanisem Permintaan Bibit Gratis



Bagi Perorangan, Institusi Pemerintah, TNI dan Polri, Kelompok masyarakat (administratif/ organisasi/ komunitas/ lembaga/ LSM, dll), Kelompok Tani, Sekolah dan Perguruan Tinggi, dan Pihak lainnya yang membutuhkan bibit tanaman hutan maupun buah-buahan secara gratis dapat memperolehnya di Persemaian Permanen milik pemerintah (Kementerian LHK) di Daerah, bisa di BPDASHL atau UPT teknis lainnya.

Prosedur permohonan bibit dan persyaratan nya berbeda-beda disetiap daerah sesuai SOP yang ditetapkan intansi daerah. Namun satu hal yang harus dipastikan adalah bahwa penggunaan bibit bukan untuk tujuan komersil.

Misalnya prosedur permohonan bibit di BPDASHL di Yogyakarta menetapkan persyaratan yang berbeda bagi pemohonan dengan jumlah dibawah 1000 bibit dan diatas  1000 bibit.
Untuk Pengajuan Perseorangan ≤ 1.000 batang dengan syarat :
  1. Mengajukan surat permohonan bantuan bibit untuk penanaman/ pembagian bibit yang ditujukan kepada Kepala BPDASHL SOP yang mencantumkan : tujuan penanaman/ pembagian, lokasi penanaman/ pembagian, luas dan kondisi lahan, waktu penanaman/ pembagian, jenis dan jumlah bibit;
  2. Menyertakan Fotokopi identitas;
  3. Jumlah bibit yang dapat diajukan/ diberikan disesuaikan dengan luas dan kondisi lahan;
  4. Pihak BPDASHL SOP berhak melakukan pengecekan : administrasi, calon lokasi penanaman, serta bukti keabsahan lainnya.
  5. Untuk pengajuan perorangan yang mengajukan secara kolektif dan akumulasi bibit ≥ 5.000 batang, diwajibkan membuat surat permohonan pengajuan bibit sebagaimana tertera pada nomor 4.

Sedangkan untuk pengajuan Perseorangan/ Kelompok ≥ 1.000 batang dengan syarat :
  1. Mengajukan surat permohonan bantuan bibit untuk penanaman/ pembagian bibit yang ditujukan kepada Kepala BPDASHL yang mencantumkan : tujuan penanaman/ pembagian, lokasi penanaman/ pembagian, waktu penanaman/ pembagian, jenis dan jumlah bibit;
  2. Menyertakan sket/ peta lokasi dan luas lahan;
  3. Surat diketahui oleh aparat desa atau UPT/ UPTD yang terkait/ yang mengampu kegiatan kehutanan/ penghijauan/ lingkungan;
  4. Menyertakan daftar anggota kelompok dengan luasan per masing-masing anggota (kelompok);
  5. Jumlah bibit yang diberikan tergantung luas dan kondisi lahan;
  6. Pengajuan perorangan menyertakan fotokopi identitas, sket/ peta lokasi dan bukti kepemilikan lahan;
  7. Harus dikoordinasikan dan diketahui oleh pengampu kegiatan kehutanan/ penghijauan lingkungan setempat;
  8. Pihak BPDASHL berhak melakukan pengecekan : administrasi, calon lokasi penanaman, serta bukti keabsahan lainnya.

Sumber:

Izin Pengambilan Atau Penangkapan Non-Komersial Tumbuhan Dan Satwa Liar Dari Habitat Alam




Izin pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar dari habitat alam untuk tujuan non-komersial dapat diberikan kepada:

  • Perorangan;
  • Lembaga konservasi;
  • Lembaga penelitian;
  • Perguruan Tinggi;
  • Lembaga Swadaya Masyarakat (Organisasi Non-Pemerintah).

 Izin pengambilan atau penangkapan untuk tujuan non komersil ini dapat dibagi dalam:
  1. Untuk jenis yang tidak dilindungi dan jenis yang dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III dan non-appendiks CITES diberikan oleh Kepala Balai. Kepala Balai disini adalah adalah Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
  2. Untuk jenis yang dilindungi lainnya dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES, diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan tersebut tidak akan merusak populasi di habitat alam. Menteri disini adalah Menteri yang mengurusi urusan Kehutanan.

Tata cara dan prosedur perizinan untuk pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III dan non-appendiks CITES yang terdapat di dalam kuota  pengambilan atau penangkapan adalah sebagai berikut:
  1. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Kepala Balai yang memuat diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, dan wilayah pengambilan serta deskripsi rinci mengenai tujuan pengambilan atau penangkapan;
  2. Kepala Balai menelaah permohonan dan memeriksa silang dengan ketersediaan spesimen dalam kuota dan lokasi pengambilan atau penangkapan yang telah ditetapkan;
  3. Berdasarkan penelaahan, Kepala Balai dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima;
  4. Khusus untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, dalam hal kuota bagi jenis yang dimohonkan telah habis, maka Kepala Balai wajib berkonsultasi dengan Direktur Jenderal;
  5. Atas dasar konsultasi Kepala Balai, Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam;
  6. Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Direktur Jenderal memerintahkan Kepala Balai untuk menyetujui atau menolak menerbitkan izin.

Sedangkan Tata cara dan prosedur perizinan pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar untuk jenis-jenis yang dilindungi dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES  atau jenis yang tidak dilindungi yang tidak terdapat di dalam kuota  pengambilan atau penangkapan adalah sebagai berikut:

  1. Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar untuk jenis-jenis yang dilindungi dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES atau jenis yang tidak dilindungi yang tidak terdapat di dalam kuota hanya dapat dilakukan untuk pemanfaatan dengan tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan dan pengembangbiakan;
  2. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri yang memuat diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, dan wilayah pengambilan, serta dilengkapi dengan rencana kerja atau proposal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Otoritas Keilmuan;
  3. Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dengan  rekomendasi dari Otoritas Keilmuan, maka Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam;
  4. Berdasarkan penilaian terhadap permohonan dan kelengkapan, Menteri dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin berdasarkan saran dari Direktur Jenderal dan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam;
  5. Atas dasar konsultasi Kepala Balai, Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam
  6. Berdasarkan rekomendasi, Direktur Jenderal memerintahkan Kepala Balai untuk menyetujui atau menolak menerbitkan izin
Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 447/Kpts-II/2003

Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri Primer


Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan ( IUIPHH ) adalah izin usaha komersial atau izin operasional yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk mengolah hasil hutan menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, yang dapat berupa Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) atau Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK).

Kewenangan pemberian IUIPHH dapat diberikan oleh Menteri LHK, Gubernur atau Bupat/Walikota.

Pemberian IUIPHH oleh Menteri yang penerbitannya dilakukan melalui Lembaga OSS, terdiri atas:
  • IUIPHHK Kapasitas Produksi 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun atau lebih;
  • IUIPHHK pada areal IUPHHK atau Pengelola Hutan atau IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi;
  • IUIPHHK jenis industri bioenergi ragam produk biofuel dan/atau biogas; dan
  • IUIPHHBK pada areal IUPHHK, Pengelola Hutan, IUPHKm pada hutan produksi atau HPHD pada hutan produksi.

Pemberian IUIPHH oleh Gubernur yang penerbitannya dilakukan melalui Lembaga OSS, terdiri atas:
  • IUIPHHK Kapasitas Produksi kurang dari 6.000 (enam ribu) meter kubik per tahun;
  • IUIPHHBK; dan
  • IUIPHHBK pada areal IUPHHBK.


Pemberian IUIPHH oleh Gubernur yang dapat didelegasikan kepada Bupati/Wali Kota melalui Tugas Pembantuan adalah bagi:
  • IUIPHHK Kapasitas Produksi kurang dari 2.000 (dua ribu) meter kubik per tahun;
  • IUIPHHBK skala kecil dan menengah; atau
  • IUIPHHBK skala kecil dan menengah pada areal IUPHHBK



Klasifikasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu



Klasifikasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu  (IPHH) menurut PermenLHK No P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 Tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan  terdiri atas:
  1. Industri Primer Hasil Hutan Kayu   (IPHHK)  adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
  2. Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) adalah pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi

IPHHK, terdiri atas Jenis Industri:
  1. Penggergajian Kayu dan/atau Pengawetan Kayu dengan ragam produk yaitu kayu gergajian dan/atau palet kayu;
  2. Panel Kayu dengan ragam produk yaitu veneer, kayu lapis/plywood, Laminated Veneer Lumber (LVL), plywood faced bamboo, barecore, blockboard, particle board, fibreboard dan/atau jenis panel kayu lainnya;
  3. Wood Chips dengan ragam produk yaitu serpih kayu; dan
  4. Bioenergi berbasis kayu dengan ragam produk yaitu wood pellet, arang kayu, biofuel, biogas dan/atau bioenergi lainnya.

Sementara IPHHBK  terdiri atas Jenis Industri:
  1. Pengawetan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;
  2. Pengolahan Rotan, Bambu, dan sejenisnya;
  3. Pengolahan Pati, Tepung, Lemak dan sejenisnya;
  4. Pengolahan Getah, Resin, dan sejenisnya;
  5. Pengolahan Biji-bijian;
  6. Pengolahan Madu;
  7. Pengolahan Nira; 
  8. Minyak Atsiri; dan/atau
  9. Industri Karet Remah (Crumb Rubber)



Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) masuk dalam Top 99 Inovasi Pelayan Publik Tahun 2018



Salah satu inovasi yang dibuat Kementerian LHK yaitu sistem informasi legalitas kayu (SILK). Inovasi ini telah mengantarkan institusi tersebut masuk ke dalam Top 40 inovasipelayanan publik 2018 yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan predikat outstanding (terpuji). 

SILK merupakan inovasi yang berupaya untuk melindungi kekayaan kayu Indonesia dari perdagangan kayu ilegal (ilegal loging).

sistem informasi legalitas kayu  juga masuk dalam Top 99 InovasiPelayan Publik Tahun 2018  yang dikeluarkan oleh penilaian oleh Tim Panel Independen Kompetisi Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah,  BUMN, dan BUMD Tahun 2018.


Menanam Kopi Boleh di Hutan Lindung?



Adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan dan Hutan Lindung Nomor S.114/PDASHL/KPHL-DAS-3/9/2018 membolehkan menanam kopi di hutan lindung dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Tidak dibenarkan menebang pohon yang berada di hutan lindung
  2. Tanaman kopi ditanam diantara pohon yang sudah ada
  3. Masyarakat diwajibkan untuk menanam tanaman kayu pada ruang yang kosong secara tersebar dan disesuaikan dengan kontur
  4. Jenis tanaman kayu dimaksud adalah jenis MPTS yand dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung kopi sekaligus sebagai upaya konservasi tanah dan air dengan jumlah minimal 400 batang per ha.
  5. Jenis MPTS yang dipilih adalah yang bernilai ekonomi, berkualitas baik  dan disukai masyarakat setempat


Nomor Induk Berusaha Sebagai Dasar Untuk Mendapatkan Izin Usaha



Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, telah diatur tentang Penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) bagi Pelaku Usaha.

Nomor Induk Berusaha  adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS (Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission) setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran untuk kegiatan berusaha dengan cara mengakses laman OSS 

Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran melalui pengisian data data sebagaimana dipersyaratkan di dalam PP tersebut, kemudian NIB akan diperoleh berbentuk 13 (tiga belas) digit angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan Tanda Tangan Elektronik.

NIB merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional termasuk untuk pemenuhan persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional.

NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dan NIB dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Lembaga OSS dalam hal:
  1. Pelaku Usaha melakukan usaha dan/atau kegiatan yang tidak sesuai dengan NIB; dan/atau
  2. Dinyatakan batal atau tidak sah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Disamping itu NIB berlaku juga sebagai:
  1. TDP sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di bidang tanda daftar perusahaan;
  2. API sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di bidang perdagangan; dan
  3. Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Sumber PP NOMOR 24 TAHUN 2018

Harga Patokan Hasil Hutan Tahun 2018


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.64/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017 Tentang : Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan Dan Ganti Rugi Tegakan telah diundangkan tanggal 22 Desember 2017.  PermenLHK ini adalah pengganti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/MENHUT-II/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan, Ganti Rugi Tegakan dan Pengggantian Nilai Tegakan.

PermenLHK Nomor : P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 telah diundangkan tanggal 22 Desember 2017 dan berlaku sejak 50 hari kedepan sejak diundangkan.
Hal-hal yang mendasar dalam Permen LHK Nomor: 
P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017  diantaranya cara Perhitungan PSDH dihitung berdasarkan formula tarif dikalikan dengan harga patokan PSDH dikalikan dengan berat/volume/jumlah hasil hutan.dan  Perhitungan GRT dihitung berdasarkan formula tarif dikalikan dengan harga patokan GRT dikalikan dengan volume kayu.


Dan adanya penetapan harga patokan  terhadap hasil sylvopastura dan sylvofishery dengan ketentuan Berat hasil hutan untuk hasil sylvopastural berupa daging yang dikenakan PSDH yaitu berat hewan diternakan di kawasan hutan saat dipanen per kilogram dan Berat hasil hutan untuk hasil fishery berupa ikan yang dikenakan PSDH yaitu berat ikan diternakkan di kawasan hutan saat dipanen per kilogram.

Luas Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu


Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.4/MENLHK/SETJEN/PHPL.3/1/2016 Tentang Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam Atau Iuphhk Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, telah diatur batasan luas areal yang boleh diberikan kepada calon pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan.

Bagi  IUPHHK-HA, dapat diberikan paling luas 100.000 (seratus ribu) hektar per izin, kecuali untuk provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dapat diberikan paling luas 200.000 (dua ratus ribu) hektar per izin.

Sedangkan bagi  IUPHHK-HTI, dapat diberikan paling luas 75.000 (tujuh puluh lima ribu) hektar per izin.


Setiap perusahaan dapat diberikan paling banyak 2 (dua) izin untuk masing-masing jenis usaha baik IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HTI.

Persyaratan Areal IZIN PEMANFAATAN KAYU


Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan  Nomor : P.62/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) telah mengatur persyaratan areal untuk mendapatkan IPK.

Sebelumnya mari kita ketahui terminologi IPK menurut Permenhut diatas. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin untuk menebang kayu dan/atau memungut hasil hutan bukan kayu sebagai akibat dari adanya kegiatan izin non kehutanan antara lain dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.
Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan persyaratan areal yang dapat dimohonkan IPK, meliputi :

a. Areal Penggunaan Lain (APL) yang telah dibebani izin peruntukan.
Areal Penggunaan Lain (APL) yang telah dibebani izin peruntukan adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan Izin Peruntukan adalah izin di sektor selain kehutanan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang dan bersifat final, seperti antara lain izin bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah, pembangunan sarana komunikasi dan informasi, Kuasa Pertambangan, Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan

b. Penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan.
izin pinjam pakai kawasan hutan melekat dan berlaku sebagai IPK. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

c. HPK yang telah dikonversi atau tukar-menukar kawasan hutan.
Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan
Tukar-menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.

Dalam pasal yang sama ayat (2) mengatur siapa saja yang boleh mengajukan IPK, yaitu :
a.  Perorangan;
b.  Koperasi;
c.  Badan Usaha Milik Negara;
d.  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau 
e.  Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).


Surat Persetujuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar (SPE-TASL)


Setiap Pengusaha Eksportir yang melakukan kegiatan eksport terhadap Tumbuhan alam dan satwa liar yang tidak dilindungi oleh UU namun termasuk dalam daftar CITES, maka pengusaha tersebut harus mengantongi SPE-TASL.

SPE-TASL (Surat Persetujuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar), adalah surat persetujuan pelaksanaan ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES.

Tumbuhan Alam yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES.

Satwa Liar yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES.

Jenis Jenis Tumbuhan Alam dan Satwa Liar yang tidak dilindungi Undang-Undang dan termasuk dalam daftar CITES tercantum dalam Permendag Nomor 50/M-DAG/PER/9/2013 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam Dan Satwa Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang Dan Termasuk Dalam Daftar Cites.

Untuk memperoleh SPE-TASL, Eksportir harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dalam hal ini Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:

  1. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau surat izin usaha dari instansi teknis;
  2. fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
  3. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
  4. fotokopi rekomendasi dari instansi terkait dan/atau SATS-LN dari Kementerian Kehutanan.

SPE-TASL  berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.

Perusahaan yang telah mendapatkan SPE-TASL wajib menyampaikan Laporan Realisasi Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar secara manual dan melalui http://inatrade.kemendag.go.id dengan melampirkan fotokopi kartu kendali Realisasi Ekspor yang telah diparaf dan dicap oleh petugas Bea dan Cukai.

SPE-TASL dicabut apabila perusahaan:
  1. tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut;
  2. terbukti mengubah informasi yang tercantum dalam dokumen SPE-TASL; dan/atau
  3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan SPE-TASL.


Sumber: Permendag Nomor 50/M-DAG/PER/9/2013